FIKIH
MUAMALAH I
‘’Akad
Ijarah’’
Disusun Oleh :
1.
Elli
Kusuma Dewi
2.
Muhammad
Yusuful Hamdani
Program Studi : S-1 Perbankan
Syari’ah
SEKOLAH
TINGGI EKONOMI ISLAM (STEI) HAMZAR
LOMBOK TIMUR
TA 2017/2018
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Alhamdulillah dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat
Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Akad Ijarah”
dengan baik dan lancar. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penulis mengharapkan makalah ini nanti dapat dijadikan
sebagai bahan acuan untuk mengetahui, memahami dan mempelajari tentang
Kelahiran Pengetahuan Alamiah Modern. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan bantuan Dosen Pembimbing dan rekan-rekan mahasiswa.
Meskipun demikian kami menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang
sifatnya membangun demi kemajuan makalah yang akan datang.
Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi
Wabarakaatuh
DAFTAR
ISI
Cover.................................................................................................................................. i
Kata Pengantar.................................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah.......................................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 2
A. DEFINISI,
HUKUM DAN DASAR HUKUM IJARAH........................................... 2
B. MACAM-MACAM IJARAH...................................................................................... 6
C. SYARAT DAN RUKUN IJARAH............................................................................. 7
D. HAK DAN KEWAJIBAN DALAM IJARAH........................................................... 9
E. RESIKO
IJARAH........................................................................................................ 11
F. PEMBAYARAN,
PENYEWAAN ILANG, PEMBATALAN DAN BERAKHIRNYA AKAD IJARAH ................................................................................................................................... 12
G. PENERAPAN
ATAU APLIKASI DARI IJARAH................................................... 16
H. HIKMAH IJARAH...................................................................................................... 18
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 20
A. Kesimpulan.................................................................................................................... 20
B. Kritik
dan Saran............................................................................................................ 20
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Telah kita ketahui bersama bahwa Allah SWT menciptakan manusia untuk menjadi makhluk sosial dan
saling tolong-menolong, artinya manusia membutuhkan sesamanya untuk bertukar
pikiran dan berinteraksi dalam mencukupi segala kebutuhannya. Adapun cara
mendapatkan gadai, pinjaman, sewa-menyewa atau upah mengupah yang dapat
menyatukan manusia dalam komunitas yang tidak terpisah adalah dengan cara
memperbanyak teman.
Akad Ijarah sangat bersentuhan langsung dengan
kehidupan manusia khususnya masalah mu’amalah, semua manusia pasti akan
melakukan interaksi dengan sesamanya. Akan tetapi yang menjadi masalah sekarang
ini adalah kesalah-pahaman masyarakat tentang istilah sewa-menyewa, upah
mengupah dan pinjam-meminjam.
Banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya, akibatnya juga banyak
masyarakat menyelewengkan tentang hukum-hukum ijarah. Selanjutnya akan
dibahas panjang lebar mengenai hal tersebut. Penulis tidak banyak menguraikan
secara detail dikarenakan menyesuaikan dengan kisi-kisi yang telah diberikan
dosen pengampu.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah penulis singgung di
atas maka dapat diperinci rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Definisi, Hukum dan Dasar Hukum Ijarah
2.
Macam-macam
Ijarah
3.
Syarat dan Rukun
Ijarah
4.
Hak dan
Kewajiban dalam Ijarah
5.
Resiko Ijarah
6.
Pembayaran, Penyewaan Ulang, Pembatalan
dan Berakhirnya Akad Ijarah
7.
Penerapan atau Aplikasi dari Ijarah
8.
Hikmah Ijarah
C. Tujuan
Penulisan
Dengan
memahami ilmu pengelolaan harta, dalam hal ini pembahasan Ijarah, semoga
senantiasa dapat menjadikan kita lebih berhati-hati dalam menggunakan harta
yang kita miliki. Sehingga ilmu tersebut dapat menuntun kita agar tidak jatuh
pada hal yang syubhat, terlebih pada yang haram. Tujuan disyariatkannya ijarah
sendiri adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup.
Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di lain pihak ada yang
mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling
mendapat keuntungan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI,
HUKUM DAN DASAR HUKUM IJARAH
Ø Definisi
Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah بَيْعُ المَنْفَعَةِ (menjual manfaat). Menurut kaidah sharraf kata
Ijarah diderivasi dari bentuk fi’il “ajara – ya’juru – ajran ”,
yang berarti upah, sewa, imbalan atau ganti. Secara terminologi, pengertian ijarah
ialah akad atas beberapa manfaat atas penggantian. Adapun pengertian ijarah
yang dikemukakan oleh para ulama’ madzhab fiqih adalah sebagai berikut:
a.
Menurut ulama Hanafiyah:
عقد على المنافع بعوض
“akad atas sesuatu kemanfaatan
dengan pengganti.”
b.
Menurut ulama Syafi’iyah:
عقد على منفعة مقصودة معلومة مباحة
قابلة للبذل والاباحة بعوض معلوم
“Transaksi
terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh
dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.”
c.
Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah:
تمليك منافع شىء مباحة مدّةً معلومةً
بعوض
“Pemilikan manfaat suatu yang
dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu pengganti.”
Ijarah secara sederhana diartikan dengan “transaksi
manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu”. Bila yang menjadi objek transaksi
adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarat al-‘ain atau sewa
menyewa ; seperti menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek
transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat
al-zimmah atau upah mengubah menjahit pakaian. Keduanya disebut al-Ijarah
dalam literatul arab.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah
menjual manfaat, dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya.
Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba
untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dll, sebab semua itu bukan
manfaatnya melainkan bendanya.
Manfaat
sesuatu dalam konsep ijarah, mempunyai pengertian yang sangat luas meliputi
imbalan atas manfaat suatu benda atau upah terhadap suatu pekerjaan tertentu.
Ø Sifat,
Hukum dan Dasar Hukum Ijarah
a.
Sifat
Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah
akad lazim yang didasarkan pada firman Allah Swt: “yang boleh dibatalkan”.
Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan didasarkan pada pemenuhan
akad.
Sebaliknya, jumhur ulama
berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan, kecuali
dengan adanya sesuatu yang merusak pemenuhannya, seperti hilangnya manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada
ayat al-Qur’an di atas.
Berdasarkan dua pandangan di atas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah
batal dengan meninggalnya salah seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan
kepada ahli waris. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal,
tetapi berpindah kepada ahli warisnya.
b.
Hukum
Ijarah
Hukum Ijarah shahih adalah tetapnya kemanfaatan
bagi penyewa, dan tetapnya upah bagi pekerja atau orang yang menyewakan ma’qud
‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli pertukaran, hanya saja dengan
kemanfaatannya.
Adapun hukum ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa
telah mendapatkan manfaat tetapi orang yang menyewakan atau yang bekerja dibayar
lebih kecil dari kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut
terjadi syarat. Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak
memberitahukan jenis pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
ijarah fasid sama dengan jual beli fasid, yakni harus dibayar sesuai
dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang sewaan.
Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan
Al-Ijma’.
c.
Dasar
Hukum Ijarah
Hukum asal
ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan Islam. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang membolehkan
ijarah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Ø Dasar
Hukum Ijarah Dalam Al-Qur’an
1. QS.
Ath-Thalaq ayat 6:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئاَتُوْهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.
2. QS.
Al-Qashash ayat 26 dan 27:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَايَأَبَتِ اسْتَئْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَمَنِسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِيْنُ (26) قَالَ إنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَىَّ هَا تَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِى ثَمَانِيَ حِجَجِ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِىْ إِنْشَاءَاللّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ (27)
Salah seorang di antara kedua anak perempuan itu berkata: “Hai bapakku upahlah dia, sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya”. Si bapak ber-kata: “Saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang anak perempuanku dengan ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.
Ø
Dasar Sumber Hukum Ijarah Dalam
Al-Hadits
1.
Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى
صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديلثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا
الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار
قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما
براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي،
فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)
Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia
menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai
penunjuk jalan dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah
terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia
memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan
kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya
menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi
keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada hari di malam
ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin
Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian
bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).
Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa
orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi
mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam
Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi)
maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak
seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan
itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan
menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat
merendahkan martabat mereka.
2. Kemudian
hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن
طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه وسلم
واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )
Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus
dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia berkata bahwa Nabi Saw pernah
mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”.(H.R.Bukhari)
Dari hadits
di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang
yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi
membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.
3. H.R Ibnu
Majah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ
قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)
Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata
Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R
Ibnu Majah )
Hadits di
atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang
dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu
hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai
dilakukan.
Ø Ijma’
Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun
yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka yang
berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi. Jelaslah bahwa Allah
SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan
ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
Beberapa pendapat ulama madzhab tentang upah dalam ibadah :
1.
Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang
pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan
pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki
berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an,
azan dan badal Haji.
2. Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm
membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu
karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang
diketahui pula.
3. Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah
dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan
shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah
tersebut.
Namun, boleh mengambil upah dari
pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan
Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada
taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung,
khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan,
memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan
membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.
v
Ketetapan Hukum Akad dalam
Ijarah
Menurut Hanafiah dan Malikiyah, ketetapan
hukum akad ijarah berlaku sedikit demi sedikit atau setahap demi setahap,
sesuai dengan timbulnya objek akad yaitu manfaat. Hal itu karena manfaat dari
suatu benda yang disewa tidak bisa dipenuhi sekaligus, melainkan sedikit demi
sedikit.
Akan tetapi menurut Syafi’iyah, ketetapan hukum akad ijarah itu berlaku
secara kontan sehingga masa sewa dianggap seolah-olah seperti benda tampak.
Sebagai akibat dari perbedaan antara Hanafiah dan Malikiyah di satu pihak
dan Syafi’iyah di pihak lain, timbul perbedaan antara mereka dalam masalah
berikutnya.
a. Hubungan antara uang sewa dengan akad
b. Penyerahan barang yang disewakan setelah akad
c. Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan datang
v
Hukum
Upah-Mengupah.
Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah
amal atau pekerjaan seseorang. Ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah adalah
suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Tenaga kerja ada dua macam, yaitu:
a)
Tenaga kerja khusus, yaitu orang yang bekerja pada
satu orang untuk masa tertentu.
b)
Tenaga kerja musytarak, yaitu orang yang
bekerja untuk lebih dari satu orang sehingga mereka bersekutu di dalam
memanfaatkan tenaganya.
v Disyariatkannya Ijarah
Sama persis seperti jual beli dan pernikahan,
disyariatkannya ijarah tidak memerlukan dalil karena ia termasuk di antara dharurat
(keharusan) yang bukan objek untuk ijtihad dan taklid. Meski demikian, ada
beberapa ayat untuk tabarrruk (mengharapkan keberkahan) dan tayammun
(mengharapkan kebaikan).
Di antaranya ayat yang dengan tegas menghalalkan mut’ah, yaitu firman Allah
SWT: Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (melalui nikah mut’ah) di
antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (QS. An-Nisa’: 24). Juga
ayat tentang penyusuan, Kemudian jika mereka menyusukan anak-anakmu untukmu,
maka berikanlah kepada mereka upahnya (QS. Ath-Thalaq: 6). Adapun ayat 32
dari Surah az-Zukhruf: Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat “mempergunakan”
sebagian yang lain” (sukhriyyan) tersebut ialah bahwa sebagian orang
mempergunakan (memanfaatkan) orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu dengan
upah dan imbalan.
Disebutkan dalam ajaran Ahlulbait ‘alaihimus salam
bahwa lebih baik bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
bersifat mandiri (wiraswasta), seperti berdagang dan sebagainya, dan tidak
bekerja untuk orang lain karena di dalam ijarah (yakni bekerja untuk orang lain
dengan upah) terdapat pembatasan rezeki. Imam Shadiq as berkata, “Orang yang
mempekerjakan dirinya (untuk orang lain dengan upah) telah membatasi rezekinya
sendiri.”
Maksudnya bahwa semua hasil yang datang dan diperolah dari kerjanya adalah
bukan miliknya, tetapi milik orang lain. Di dalam riwayat lain dari Imam
ash-Shadiq as disebutkan bahwa beliau berkata, “Jangan seseorang menyewakan
dirinya. Akan tetapi, hendaklah dia meminta rezeki dari Allah dan berdagang.
Jika dia menyewakan dirinya, maka dia telah menolak rezekinya”.
Akan tetapi, tak diragukan bahwa kemakruhan ijarah ini akan terangkat jika
seseorang terpaksa untuk itu dan dia tidak mendapatkan jalan reseki kecuali
dengannya. Imam Ali, Amirul Mukminin as pun pernah bekerja untuk seorang Yahudi
ketika berhijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah, dan beliau tidak mau
bergantung dan menjadi beban bagi orang lain.
v Konsekuensi Hukum dan Pemeliharaan Asset
dalam Akad Ijarah
Terdapat
beberapa konsekuensi hukum dan ketentuan tentang tanggung jawab pemeliharaan
asset dalam akad Ijarah:
1. Konsekuensi
hukum dan keuangan yang timbul dari akad ijarah adalah timbulnya hak atas
manfaat dari asset yang disewa oleh penyewa (musta’jir) dan penerimaan
fee/ujrah bagi pemilik asset (muajjir).
2. Pemberi
sewa (mu’jir) wajib menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset yang disewa
dengan cara menjaga agar manfaat itu tersedia selama periode penyewaan dalam
batas yang normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat manfaat itu terhenti,
maka pemberi sewa wajib memperbaikinya/menggantinya.
3. Pada
prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang
menanggung biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika
kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa
itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas. Hal ini sesuai
dengan kaedah Al-Ajru wa adh Dhaman La Yajtami’ani. Artinya: pembayaran fee
(bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan biaya perbaikan kerusakaan.
v
Keterlambatan
Pembayaran
Pada
dasarnya ketentuan mengenai keterlambatan pembayaran dalam akad Ijarah masih
diperdebatkan dalam kalangan ulama. Ada yang membolehkan pengenaan biaya ganti
rugi bagi si penyewa yang melakukan keterlambatan pembayaran, dan ada pula yang
mengharamkannya karena alasan Riba dan Gharar.
B. MACAM
- MACAM IJARAH
Ijarah terbagi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau
sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
Adapun objek ijarah adalah terdiri atas dua bentuk,
yaitu :
a. Ijarah ‘ala al-manafi’, yaitu ijarah yang objek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan
rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai, dll.
b. Ijarah ‘ala al-‘amaal ijarah, yaitu ijarah yang objek akadnya jasa atau
pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini
terkait erat dengan masalah upah mengupah. Oleh karena itu pembahasannya lebih
dititik beratkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir).
Al- ijarah seperti ini, menurut ulama fiqh, hukumnya boleh apabila jenis
pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik dan
tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini ada yang bersifat pribadi, seperti
menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat serikat, yaitu
seseorang atau sekelompok orang menjual jasanya untuk kepentingan orang banyak,
seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit. Kedua bentuk al-ijarah
terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqih hukumnya boleh.
C.
SYARAT DAN RUKUN
IJARAH
1.
Syarat-syarat Ijarah
a.
Adanya keridhaan dari kedua pihak
yang akad.
Syarat ini didasarkan pada firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.
Ijarah dapat dikategorikan jual-beli, sebab mengandung unsur pertukaran
harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b.
Mengetahui manfaatnya.
Seperti menempati rumah sewa,
atau menjahitkan pakaian. Karena sewa-menyewa itu seperti jual beli, dan jual
beli itu harus diketahui barang yang akan dibeli.
c.
Harus perkara yang mubah
(dibolehkan) manfaatnya.
Maka tidak boleh menyewa seorang budak perempuan untuk digauli
(disetubuhi), atau menyewa seorang perempuan untuk menyanyi atau meratapi mayat
misalnya, atau menyewa sebidang tanah untuk dibangun gereja atau tempat minum
minuman keras (bar).
d.
Mengetahui upahnya.
Berdasarkan perkataan Abu Sa’id r.a, “Rasulullah saw melarang menyewa
pekerja sehingga dijelaskan mengenai upahnya kepadanya.” (HR. Ahmad 3/59, 68,
71).
Syarat
ijarah terdiri empat macam, sebagaiman syarat dalam jual beli, yaitu syarat
al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat
sah, dan syarat lazim.
Ø Syarat Terjadinya Akad
Syarat in”inqad (terjadnya akad)
berkaitan dengan aqid, zad akad, dan tempat akad. Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah,
‘aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz
(minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri,
akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan
jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad
anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyratkan orang yang akad harus mukallaf,
yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikatagorikan
ahli akad.
Ø Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki
kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul
(ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak
diizinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
Ø Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud
‘alaih (barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad
(nafs al-‘aqad), yaitu:
1) Adanya keridaan dari kedua pihak yang akad
2) Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
3) Penjekasan waktu
4) Sewa bulanan
5) Penjelasan jenis pekerjaan
6) Penjelasan waktu kerja
7) Ma’qud ‘alaih (barang) harus dapat memenui
secara syara’
8) Kemanfaatan benda dibolehkan menurut syara’
9) Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan
kepadanya
10) Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang
disewa
11) Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang
umum.
Ø Syarat Barang Sewaan (Ma’qud ‘alaih)
Diantara syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atu dikuasai. Hal
itu didasarkan pada hadis Rasululullah SAW, yang melarang menjual barang yang
tidak dapat dipegang atau dikuasai,
sebagaimana dalam jual-beli.
Ø Syarat Kelaziman
Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut:
1) Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar dari
cacat
2) Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad.
2. Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain
dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan
al-ikra.
Adapun menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu:
a.
Ada
yang menyewa dan yang mempersewakan (‘aqid). Syaratnya adalah:
1) Berakal
2) Berkehendak sendiri (bukan dipaksa).
3) Keduanya tidak bersifat mubazir.
4) Balig (minimal berumur 15 tahun).
b.
Shighat akad.
c.
Sewa. Disyaratkan keadaannya diketahui dalam beberapa hal:
1)
Jenisnya.
2)
Kadarnya.
3)
Sifatnya.
d. Manfaat. Syarat manfaat:
1) Manfaat yang berharga. Manfaat yang tidak
berharga adakalanya karena ada larangan dari agama, misalnya menyewa
seseorang untuk membinasakan orang lain.
2) Keadaan manfaat dapat diberikan oleh yang
mempersewakan.
3) Diketahui kadarnya, dengan jangka waktu seperti
menyewa rumah satu bulan atau satu tahun; atau diketahui dengan pekerjaan,
seperti menyewa mobil dari Jakarta sampai ke Bogor.
Menurut Ahmad Mujahidin rukun Ijarah yang terdapat
pada pasal 295 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) terdiri atas :
1)
Pihak yang
menyewa
2)
Pihak yang
menyewakan
3)
Benda yang diijarahkan
4)
Akad
D.
HAK DAN
KEWAJIBAN DALAM IJARAH
Akibat
hukum tercapainya ijab qabul (shighat al ‘aqd) dalam akad ialah berlakunya hak
dan kewajiban dari masing-masing pihak. Kewajiban pihak yang menyewakan (mu’jir) ialah menyediakan barang / jasa
dengan imbalan akan mendapat upah (ujrah) dari penyewa (musta’jir). Apabila terjadi
kerusakan barang akan menjadi tanggung jawab pihak yang menyewakan (mu’jir),
kecuali kerusakan itu secara nyata disebabkan karena kelalaian dari pihak
penyewa (musta’jir). Rasulullah SAW bersabda :
علي ا ليد ماأخذت حتي تؤديه (رواه أحمد)
‘’Tangan yang
mengambil bertanggung jawab sampai membayarnya’’. (HR Ahmad).
Begitu pula
dalam ijarah yang objeknya berupa manfaat perbuatan, berarti para pekerja
kontrak yang disewa jasanya tak ubahnya seperti wakil dari orang yang
memberikan kepercayaan untuk melakukan tugasnya. Karena itu pekerja sewaan
wajib menanggung resiko kerusakan apapuun, kecuali karena kelalaian/
kesengajaan.
Ø Hak dan
Kewajiban Para Pihak
Pihak yang menyewakan wajib mempersiapkan
barang yang disewakan untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa.
Misalnya, mobil yang disewa ternyata tidak dapat digunakan karena akinya lemah,
maka yang menyewakan wajib menggantinya. Bila yang menyewakan tidak dapat
memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan untuk membatalkan akad atau menerima
manfaat yang rusak. Sebagian ulama’ berpendapat bila penyewa tidak membatalkan
akad, harga sewa harus dibayar penuh. Sebagian ulama’ lain berpendapat harga
sewa dapat dikurangkan dulu dengan biaya untuk perbaikan kerusakan. Sedangkan
dalam hal haknya, pihak yang menyewakan berhak mendapatkan uang sewa dari
penyewa.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan
menurut syarat-syarat akad atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa juga
wajib menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh. Perawatan barang yang
disewa secara prinsip tidak boleh dinyatakan dalam akad bahwa penyewa
bertanggung jawab atas jumlah yang tidak pasti (gharar). Oleh karena
itu, ulama’ berpendapat bahwa bila penyewa diminta untuk melakukan perawatan,
ia berhak untuk mendapatkan upah dan biaya yang wajar untuk pekerjaannya itu.
Bila penyewa melakukan perawatan atas kehendaknya sendiri, ini dianggap sebagai
hadiah dari penyewa dan ia tidak dapat meminta pembayaran apa pun.
Dengan terpenuhinya syarat
perjanjian ijārah tersebut sebagaimana diutarakan di atas, maka terjadilah
hubungan hukum di antara dua pihak dan dengan sendirinya lahirlah hak dan
kewajiban di antara pihak tersebut. Hak pihak yang menyewakan (mu’ājir) menjadi
tanggung jawab yang diberikan sewa (musta’jir) dan hak musta’jir menjadi
tanggungjawab mu’ājir, sehingga di antara kedua belah pihak saling terikat.
Tangan
orang yang menyewa adalah tangan yang harus menjaga amanat terhadap barang yang
disewanya pada masa penyewaan, seperti: rumah, kendaraan, dan sebagainya. Jika
barang tersebut ada yang rusak bukan karena kesengajaan atau kelalaian orang
yang menyewa, maka dia tidak perlu mengganti barang yang rusak tadi, akan
tetapi menurut kesepakatan para ulama fikih, jika kerusakan itu karena
kesengajaan atau kelalaian, maka ia wajib membayar ganti rugi. misalnya,
barang-barang dirusak dengan sengaja atau sembarangan dalam menjaganya, maka
dia harus mengganti kerusakan yang terjadi. Lain halnya dengan penjual jasa
untuk kepentingan orang banyak, seperti: tukang jahit dan tukang sepatu,
apabila melakukan suatu kesalahan sehingga sepatu orang yang diperbaikinya
rusak atau pakaian yang dijahit penjahit itu rusak, maka ulama fikih berbeda
pendapat dalam masalah ganti rugi terhadap kerusakan tersebut.
Menurut
ulama Mazhab Hanbali dan Syafi’i, apabila kerusakan itu bukan karena unsur
kesengajaan dan kelalaian tukang sepatu atau tukang jahit tersebut, maka ia
tidak dituntut ganti-rugi barang yang rusak itu.
Sedangkan Imam
Abu Yusuf dan Muhammad Hasan Asy-Syaibani, keduanya sahabat Imam Abu Hanifah
dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, berpendapat bahwa penjual
jasa untuk kepentingan umum bertanggung jawab atas kerusakan barang yang sedang
dikerjakannya, baik dengan sengaja maupun tidak, kecuali kerusakan itu diluar
batas kemampuannya untuk menghindari, seperti: banjir besar atau kebakaran.
Ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila sifat pekerjaan itu membekas pada
barang yang dikerjakan, seperti: pekerjaan binatu, juru masak, dan buruh angkat
(kuli), maka baik sengaja maupun tidak sengaja, segala kerusakan yang terjadi
menjadi tanggung jawab mereka dan wajib mereka ganti.
Menurut
ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, seperti pintu rusak atau
dinding jebol dan lain-lain, maka pemiliknyalah yang berkewajiban
memperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa sebab pemilik barang tidak boleh
dipaksakan untuk memperbaiki barangnya sendiri. Apabila penyewa bersedia
memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela. Adapun hal-hal
kecil, seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
Ø
Diantara kewajiban penyewa setelah masa
sewa habis, adalah:
a.
Menyerahkan kunci jika yang disewa rumah
b.
Jika yang disewa kendaraan, ia harus
menyimpannya kembali di tempat asalnya
1.
Akad ijārah akan berakhir apabila
terjadi hal-hal berikut:
a.
Objek hilang atau musnah, seperti rumah
terbakar atau baju yang dijahitkan hilang
b.
Habisnya tenggang waktu yang disepakati
dalam akad ijārah. Apabila yang disewakan rumah maka harus dikembalian pada
pemiliknya
c.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, wafatnya salah
seorang yang berakad karena akad ijārah, menurut beliau tidak bisa diwariskan.
Akan tetapi menurut jumhur ulama, akad ijārah tidak batal dengan wafatnya salah
seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka, bisa.
d.
Menurut
ulama Mazhab Hanafi, apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang
disewakan disita oleh Negara karena terkait hutang yang banyak, maka akad
ijārah batal.
2. Kewajiban Mu’jir (Orang Yang Menyewakan) Dan Musta’jir (Penyewa)
Untuk menjaga agar ijarah tidak
menimbulkan pertentangan antara kedua pihak maka berikut ini disebutkan
beberapa kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku ijarah.
a. Orang yang menyewakan sesuatu wajib berusaha
semaksimal mungkin agar penyewa dapat mengambil manfaat dari apa yang ia
sewakan. Misalnya, melengkapi rumah yang ia sewakan dengan segala perabotnya,
memperbaiki kerusakan-kerusakan didalamnya, dan mempersiapkan semua yang
diperlukan dalam memanfaatkan rumah tersebut.
b. Penyewa, ketika selesai menyewa, wajib menghilangkan
semua yang terjadi karena perbuatannya. Kemudian mengembalikan sewaanya
sebagaimana ketika menyewanya.
c. Ijarah adalah akad yang wajib dipatuhi atas dua pihak mu’jir dan musta’jir. Karena ijarah merupakan bagian dari jual beli maka, maka
hukumnya serupa dengan hukum jual beli. Dan masing-masing pihak tidak boleh
membatalkan akad kecuali dengan persetujuan pihak lain.
d. Orang yang menyewakan wajib menyerahkan benda yang
disewakan kepada penyewa dan memberinya keleluasaan untuk memanfaatkanya.
Apabila pihak yang menyewakan membatasi untuk benda yang disewakan maka tidak
berhak untuk menerima upah penuh.
E. RESIKO
IJARAH
1.
Perihal
Resiko
Dalam hal perjanjian sewa-menyewa, risiko mengenai
barang yang dijadikan obyek perpanjian sewa-menyewa dipikul oleh si pemilik
barang (yang menyewakan), sebab si penyewa hanya menguasai untuk mengambil
manfaat dari brang yang dipersewakan, atau dengan kata lain pihak penyewa hanya
berhak atas manfaat barang/benda saja, sedangkan hak atas bendanya masih tetap
berada pada pihak yang menyewakan.
Jadi apabila terjadi kerusakan terhadap barang yang
menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa, maka tanggung jawab pemiliklah
sepenuhnya, si penyewa tidak mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya, kecuali
apabila kerusakan barang itu dilakukan dengan sengaja, atau dalam pemakaian
barang yang disewanya, kurang pemeliharaan (sebagaimana lazimnya pemeliharaan
barang seperti itu).
2.
Penanggungan Risiko Dalam Akad Ijarah
Dalam akad Ijarah juga berlaku hak khiyar, dimana penyewa berhak menolak ijarah karena cacat barang (khiyar ‘aib) dan Muajjir bertangung jawab untuk menjamin
(mengganti) barang/orang
ijarah yang cacat. Hal ini dapat dicontohkan:
a.
jika ternyata mobil sewaan atau LCD
sewaan rusak, maka muajjir harus menukar dengan barang lain yang bagus; dan
b.
Jika ternyata Yayasan X penyalur
pembantu mengirim pembantu yang ternyata tidak bisa mengerjakan tugas-tugas
yang dijanjikan, maka muajjir harus menggantinya dengan pembantu yang lain.
3.
Konsekuensi
Hukum dan Pemeliharaan Asset dalam Akad Ijarah
a. Terdapat
beberapa konsekuensi hukum dan ketentuan tentang tanggungjawab pemeliharaan
asset dalam akad Ijarah: Konsekuensi hukum dan keuangan yang timbul dari akad
ijarah adalah timbulnya hakatasmanfaat dari asset yang disewa oleh penyewa
(musta’jir) dan penerimaan fee/ujrah bagi pemilik asset (muajjir).
b. Pemberi
sewa (mu’jir) wajib menyediakan manfaat bagi penyewa dari asset yang disewa
dengan cara menjaga agar manfaat itu tersedia selama periode penyewaan dalam
batas yang normal. Apabila terjadi sesuatu yang membuat manfaat itu terhenti,
maka pemberi sewa wajib memperbaikinya/menggantinya.
c. Pada
prinsipnya dalam kontrak ijarah harus dinyatakan dengan jelas siapa yang
menanggung biaya pemeliharaan asset obyek sewa. Sebagian ulama menyatakan jika
kontrak sewa menyebutkan biaya perbaikan ditanggung penyewa, maka kontrak sewa
itu tidak sah, karena penyewa menangung biaya yang tidak jelas. Hal ini sesuai
dengan kaedah Al-Ajru wa adh Dhaman La Yajtami’ani. Artinya: pembayaran fee
(bayaran sewa) tidak boleh berhimpun dengan biaya perbaikan kerusakaan.
F. PEMBAYARAN,
PENYEWAAN ULANG, PEMBATALAN DAN BERAKHIRNYA AKAD IJARAH
1.
Pembayaran Sewa dan Upah
Jika ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban
pembayaran upahnya waktu berakhirnya pekerjaan, jika akad sudah berlangsung dan
tidak diisyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada penentuan penangguhannya,
menurut Abu Hanifah yang diserahkan upahnya secara berangsur, sesuai dengan
manfaat yang diterimanya. Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia
berhak dengan akad itu sendiri, jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa
kepada musta’jir ia berhak menerima bayarannya karena penyewa (musta’jir) sudah
menerima kegunaannya.
2.
Penyewaan ulang
Musta’jir
dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain dengan syarat
penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad.
Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa
untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir
kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan
yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.
Bila
ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari
kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat
kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.
Misalnya
menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada
tempat yang aman.
3.
Pembatalan
Di dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu
pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang
di wajibkan fasakh (batal). Pada dasarnya perjanjian sewa menyewa merupakan perjanjian yang lazim,
masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tidak berhak membatalkan
perjanjian, karena termasuk perjanjian timbal-balik. Bahkan, jika salah satu
pihak (pihak yang menyewakan atau penyewa) meninggal dunia, perjanjian
sewa-menyewa tidak akan menjadi batal, asal yang menjadi obyek perjanjian
sewa-menyewa masih ada. Sebab dalam hal salah satu pihak meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh ahli waris. Demikian juga halnya dengan penjualan
obyek perjanjian sewa-menyewa yang tidak menyebabkan
putusnya perjanjian yang diadakan sebelumnya. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan pembatalan perjanjian (pasakh) oleh salah satu pihak jika ada
alasan atau dasar yang kuat.
Adapun hal-hal yang
menyebabkan batalnya sewa menyewa adalah disebabkan hal-hal sebagai berikut:
a. Terjadinya
aib pada barang sewaan
Maksudnya bahwa jika pada barang
yang menjadi obyek perjanjian sewa-menyewa terdapat kerusakan ketika sedang berada di tangan pihak penyewa,
yang mana kerusakan itu adalah diakibatkan kelalaian pihak penyewa sendiri,
misalnya karena penggunaan barang tidak sesuai dengan peruntukan penggunaan
barang tersebut. Dalam hal seperti ini pihak yang menyewakan dapat memintakan
pembatalan.
Apabila barang yang menjadi obyek
perjanjian sewa-menyewa mengalami kerusakan atau
musnah sama sekali sehingga tidak dapat dipergunakan lagi sesuai dengan apa
yang diperjanjikan, misalnya terbakarnya rumah yang menjadi obyek sewa.
Maksudnya jika apa yang menjadi
tujuan sewa menyewa telah tercapai atau masa perjanjian sewa menyewa telah
berakhir sesuai dengan ketentuan yang disepakati oleh para pihak, maka akad
sewa menyewa berakhir. Namun jika terdapat uzur yang mencegah fasakh,
seperti jika masa sewa menyewa tanah pertanian telah berakhir sebelum tanaman
dipanen, maka ia tetap berada ditangan penyewa sampai masa selesai diketam,
sekalipun terjadi pemaksaan, hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kerugian
pada pihak penyewa, yaitu dengan mencabut tanaman sebelum waktunya.
d. Adanya uzur
Ulama Hanafiyah menambahkan bahwa
adanya uzur merupakan salah satu penyebab putus atau berakhirnya perjanjian
sewa menyewa, sekalipun uzur tersebut datangnya dari salah satu pihak. Adapun
yang dimaksud uzur adalah suatu halangan sehingga perjanjian tidak mungkin
dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Misalnya, seorang yang menyewa toko
untuk berdagang kemudian barang dagangannya musnah terbakar atau dicuri orang atau
bangkrut sebelum toko tersebut dipergunakan, maka pihak penyewa dapat
membatalkan perjanjian sewa menyewa yang telah diadakan sebelumnya.
Sewa-menyewa
sebagai akad akan berakhir sesuai kata sepakat dalam perjanjian. Dengan
berakhirnya suatu sewa-menyewa ada kewajiban bagi penyewa untuk
menyerahkan barang yang disewanya. Tetapi bagi barang-barang tertentu seperti
rumah, hewan dan barang lainnya karena musibah, maka akan berakhir masa sewanya
kalau terjadi kehancuran. Rumah
sewanya akan berakhir masa sewanya kalau roboh. Hewan akan berakhir masa
sewanya kalau mati. Demikian juga kendaraan kalau terjadi tabrakan sampai tidak
bermanfaat lagi, maka akan berakhir masa sewanya. Selama sewa menyewa
berlangsung, maka yang bertanggung jawab memperbaiki atau mengganti adalah
penyewa, dan dalam hal ini tidak mengakhiri masa sewa.
Bila keadaan barang atau benda sewaan dijual
oleh pemiliknya, maka akad sewa menyewa tidak berakhir sebelum masa sewa
selesai. Hanya saja penyewa berkewajiban untuk memberitahukan kepada pemilik baru tentang hak dan masa sewanya.
Demikian halnya kalau terjadi musibah kematian salah satu pihak, baik penyewa
maupun pemilik, maka akad sewa-menyewa sebelum masa sewa habis akan tetap
berlangsung dan diteruskan oleh ahli warisnya.
Akibat Hukum dari Sewa-menyewa
adalah Jika sebuah akad sewa menyewa sudah berlangsung, segala rukun dan
syaratnya dipenuhi, maka konsekuensinya pihak yang menyewakan memindahkan
barang kepada penyewa sesuai dengan harga yang disepakati. Setelah itu masing-masing
mereka halal menggunakan barang yang pemiliknya dipindahkan tadi dijalan yang
dibenarkan.
Orang yang terjun di dunia perniagaan, berkewajiban mengetahui hal-hal yang
dapat mengakibatkan sewa-menyewa itu sah atau tidak (fasid).
Maksudnya, agar muamalah berjalan sah dan segala sikap dan tidaknya jauh
dari penyimpangan-penyimpangan yang merugikan pihak lain.
Tidak sedikit umat Islam yang mengabaikan mempelajari seluk beluk sewa
menyewa yang di
syari’atkan oleh Islam. Mereka tidak peduli kalau yang disewakan barang
yang dilarang, atau melakukan unsur-unsur penipuan. Yang diperhitungkan,
bagaimana dapat meraup keuntungan yang banyak, tidak peduli ada pihak lain yang
dirugikan. Sikap seperti ini merupakan kesalahan besar yang harus diupayakan
pencegahannya, agar umat Islam yang menekuni dunia usaha perniagaan dapat
membedakan mana yang boleh mana yang dilarang, dan dapat menjauhkan diri dari
segala yang Subhat.
Sewa-menyewa
merupakan bentuk keluwesan dari Allah SWT untuk hamba-hamba-Nya. Karena semua
manusia mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan dan papan.
Kebutuhan-kebutuhan Primer tersebut akan terus melekat selama manusia masih
hidup. Padahal, tidak seorang pun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebab
itulah Islam mengatur pola interaksi (bermuamalah) dengan sesamanya. Diantara sebab-sebab dan
dasar-dasar yang telah tetap, tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun ialah
segala yang terjadi dari benda yang dimiliki, menjadi hak bagi yang memiliki
benda tersebut.
ما يتوصل او ينسأ من المملوك مملوك
Artinya: “Setiap peranakan atau segala sesuatu
yang tumbuh (muncul) dari harta milik adalah milik pemiliknya”.
Dari
landasan inilah seseorang melakukan hubungan-hubungan hukum, saling
mempertukarkan, bekerjasama untuk mendapatkan kepemilikan, karena ketika barang
itu bukan milik pribadi maka tidak dapat memanfaatkanya,
dan jalan sewa merupakan salah satu langkah untuk dapat memperoleh manfaat
terhadap barang orang lain dengan perjanjian, dan syarat- syarat tertentu untuk
saling menguntungkan.
Bentuk mu’amalah sewa-menyewa ini dibutuhkan dalam
kehidupan manusia, karena itulah maka syari’at Islam membenarkannya. Seseorang
terkadang dapat memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya tanpa melakukan
pembelian barang, karena jumlah uangnya yang terbatas, misalnya menyewa lahan pertanian kepada orang yang menganggurkan lahan.
pertanianya dan dapat menyewakanya untuk
memperoleh uang dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Tidak semua orang dapat membeli lahan pertanian, karena harganya yang tak terjangkau. Namun
demikian setiap orang dapat memanfaatkan lahan tersebut dengan jalan menyewa. Demikian juga
banyak pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sendiri, karena terbatas tenaga
dan ketrampilan, misalnya mendirikan bangunan dalam keadaan seperti ini, kita
mesti menyewa (buruh) yang memiliki kesanggupan dalam pekerjaan
tersebut.
Apabila lahan pertanian itu dibiarkan nganggur oleh pemiliknya, maka
seolah-olah menelantarkan rahmat yang diberikan Allah kepadanya, untuk itu
dengan jalan disewakan kepada orang lain sama juga telah memberikan pertolongan
bagi orang yang menyewa. Karena sejatinya orang yang menyewa merupakan orang
yang membutuhkan barang tersebut, dan juga akan menimbulkan toleransi dalam hal
ekonomi.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa disamping muamalah
jual beli maka muamalah sewa-menyewa ini mempunyai peranan penting dalam
kehidupan sehari- hari mulai zaman jahiliyyah
hingga sampai zaman modern seperti saat ini. Kita tidak dapat membayangkan
betapa sulitnya kehidupan sehari-hari, apabila sewa-menyewa ini tidak dibolehkan
oleh hukum dan tidak mengerti tata caranya. Karena itu, sewa menyewa dibolehkan dengan
keterangan syarat yang jelas, dan dan dianjurkan kepada setiap orang dalam rangka mencukupi kebutuhan. Setiap orang mendapatkan hak untuk melakukan
sewa-menyewa
berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam syari’at Islam yaitu memperjual belikan manfaat suatu barang.
Sewa-menyewa sebagaimana perjanjian jual beli, merupakan transaksi yang
bersifat konsensual. Perjanjian ini mempunyai akibat hukum yaitu pada saat sewa
menyewa berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang
menyewakan (mu’ajir) berkewajiban untuk menyerahkan barang (ma’jur)
kepada pihak penyewa (musta’jir), dan dengan diserahkannya manfa’at
barang atau benda maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan
kembali uang sewanya (ujrah)
4.
Berakhirnya
Akad Ijarah
Jika Ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban
mengenbalikan barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib
menyerahkannya kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda
tetapi (‘Iqar), ia wajib menyerahkan dalam keadaan kosong, jika barang
sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong
dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Para ulama’ fiqh menyatakan bahwa
akad Al-Ijarah akan berakhir apabila:
a. Apabila barang yang menjadi objek
perjanjian merupakan barang yang bergerak, seperti kendaraan.
b. Apabila obyek sewa menyewa
dikualifikasikan sebagai barang tidak bergerak, maka pihak penyewa berkewajiban
mengembalikannya kepada pihak yang menyewakan dalam keadaan kosong, maksudnya
tidak ada harta pihak penyewa di dalamnya, misal dalam perjanjian sewa menyewa
rumah.
c. Jika yang menjadi obyek
perjanjian sewa menyewa adalah barang yang berwujud tanah, maka pihak penyewa
wajib menyerahkan tanah kepada pihak pemilik dalam keadaan tidak ada tanaman
penyewa diatasnya.
v Pengembalian Sewaan
Jika ijarah
telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan, jika barang
sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong
dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab
Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir harus melepaskan barang
sewaan.
G. PENERAPAN
ATAU APLIKASI DARI IJARAH
Transaksi nonbagi hasil selain yang berpola jual beli
adalah transaksi berpola sewa atau ijarah. Ijarah, biasa juga
disebut sewa, jasa, atau imbalan, adalah akad yang dilakukan atas dasar suatu
manfaat dengan imbalan jasa. Ijarah adalah istilah dalam Fikih Islam dan
berarti memberikan sesuatu untuk disewakan. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah
adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Jadi,
hakekatnya ijarah adalah penjualan manfaat.
Hak dan kewajiban bagi kedua-belah pihak yakni, bagi
yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan untuk dapat digunakan
secara optimal oleh penyewa. Misalnya, mobil yang disewakan ternyata tidak
dapat digunakan karena akinya lemah, maka yang menyewakan wajib menggantinya
bila penyewa tidak dapat tidak dapat memperbaikinya, penyewa mempunyai pilihan
untuk membatalkan akad atau menerima manfaat yang rusak. Sebagian ulama’
berpendapat, apabila penyewa tidak membatalkan akad, harga sewa harus dibayar
penuh. Sebagian ulama’ lain berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dulu
dengan biaya untuk perbaikan kerusakan.
Penyewa wajib menggunakan barang yang disewakan
menurut syarat-syarat akad atau menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa wajib
menjaga barang yang disewakan agar tetap utuh. Secara prinsip tidak boleh
dinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggung jawab atas jumlah yang tidak
pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila penyewa
diminta untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk mendapatkan upah dan biaya
yang wajar untuk pekerjaannya itu. Bila penyewa melakukan melakukan atas
kehendaknya sendiri, hal ini dianggap sebagai hadiah dari penyewa dan ia tidak
dapat meminta pembayaran apapun.
v Teknik Perbankan al-Ijarah :
1.
Transaksi ijarah ditandai adanya pemindahan manfaat
jadi, dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli. Namun
perbedaan terletak pada objek barang, sedangkan pada sewa
2.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang
yang disewakan kepada nasabah, karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan
al-Ijarah al-muntahiyah bit-tamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahan
kepemilikan).
3.
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal
perjanjian antara bank dengan nasabah.
v
Aplikasi Ijarah dalam Perbankan Syariah
a)
Jika diterapkan dalam perbankan Islam, maka bank Islam tindak selaku muajjir
(pemberi sewa) dan nasabah selaku penyewa (mustakjir).
b)
Dalam praktik perbankan Islam tahapan ideal ijarah ialah:
1. Nasabah menjelaskan kepada bank bahwa ia ingin menyewa
suatu aset dan mampu membayar sewa secara periodik, misalnya per bulan.
2. Setelah melakukan penelitian, bank setuju akan menyewa
aset itu kepada nasabah.
3. Bank membeli atau menyewa aset yang dibutuhkan
nasabah.
4. Bank membuat perjanjian ijarah dengan nasabah untuk
jangka waktu tertentu dan menyerahkan aset itu untuk dimanfaatkan.
5. Nasabah membayar sewa setiap bulan yang jumlahnya
sesuai dengan kesepakatan.
6. Bank melakukan penyusutan terhadap aset. Biaya
penyusutan dibebankan kepada laporan laba rugi.
7. Di akhir masa sewa, nasabah mengembalikan aset
tersebut kepada bank
.
c)
Sub-lease = ijarah muwazy
1. Menyewakan barang kepada pihak ketiga, hukumnya
dibolehkan, apabila pemilik barang mengizinkannya. Apabila pemilik aset tidak
mengizinkannya, maka penyewaan kepada pihak ketiga tidak diperbolehkan.
2. Sering kali nasabah membutuhkan kontrakan rumah atau
rumah toko, atau gedung kantor, sedangkan mereka tidak mampu (tidak mau)
membayar ujrah-nya di muka sekaligus, tetapi secara cicilan per bulan
mereka mampu. Nasabah tersebut dapat menghubungi bank Islam untuk mendapatkan pembiayaan
sewa rumah tersebut.
3. Bank Islam dan BMT dapat menjadikan konsep ini sebagai
produk. Caranya: Bank menyewa sebuat aset, kemudian menyewakannya kembali
kepada nasabah secara cicilan. Prosesnya ialah: setelah negosiasi, bank Islam
menyewa aset tersebut misalnya Rp 10 juta setahun. Selanjutnya, bank menyewakan
kembali kepada nasabah Rp 1.000.000 per bulan. Dengan demikian, Bank mendapat
margin sewa Rp 2 juta (20%).
d)
Ijarah Muntahia bit-Tamlik (IMBT), menurut jenisnya:
IMBT merupakan akad sewa yang hampir sama dengan akad
ijarah. yang membedakannya ialah pada IMBT akad sewa yang diakhiri dengan
kepemilikan barang ditangan si penyewa. Jadi, Sifat permindahan kepemilikan
inilah yang membedakan dengan ijarah biasa.
Ø IMBT melalui
hibah atau hadiah di akhir masa sewa dengan memperhitungkan harga aset dan
nilai total sewa dalam jangka waktu tertentu:
a. ini diambil bila kemampuan finansial penyewa untuk
membayar sewa relatif lebih besar, sehingga, akumulasi sewa di akhir periode
sudah mencukupi untuk menutup harga beli barang dan marginlaba yang diharapkan
bank. Dengan demikian, bank dapat “berjanji” (Janji bermakna kontrak, sehingga
janji hibah tersebut bersifat mengikat) harus dilaksanakan. Pendapat ini sesuai
dengan mazhab Maliki dan banyak ulama pada saat akad untuk menghibahkan barang
tersebut diakhir masa periode sewa kepada penyewa.
b. Dengan demikian, kepemilikan berpindah secara otomatis
tanpa membuat kontrak baru sebagai mana dalam fatwa DSN-MUI dan tulisan
Adiwarman. Juga (jelas) tanpa pembayaran tambahan di luar angsuran terakhir.
c. Dalam IMBT ini klausul akad dapat diformulasikan
sebagai berikut, “jika penyewa (pihak kedua) telah menyelesaikan pembayaran
angsuran terakhir sewa aset tersebut, maka pihak pertama (muajjir)
menghibahkan aset tersebut kepada pihak kedua (penyewa)”
a. Hibah ini bersifat mu’allaq terhadap masa mustaqbal
(akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fikih Islam. Demikian pula
muallaq (ta’aluq dalam waktu) dalam jual beli. Misalnya, “Jika Anda
telah menyelesaikan cicilan sewa pada masa tertentu, maka saya menjual barang
ini kepada Anda”. Praktik ini dibenarkan menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
Ø IMBT melalui
pemindahan kepemilikan di akhir masa sewa dengan cara membeli dengan harga yang
sesuai dengan sisa cicilan sewa:
a. Alternatif untuk menjual di akhir masa sewa biasanya
digunakan bila kemampuan finansial mustakjir (penyewa) untuk membayar
sewa terlalu kecil, sehingga akumulasi nilai sewa yang sudah dibayar di akhir
periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin keuntungan
yang diharapkan bank. Maka jika penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia
harus membeli barang itu di akhir periode.
b. Dalam kontrak ini, juga tidak perlu dilakukan kontrak
baru di akhir masa sewa, cukup satu kali akad di awal kontrak.
c. Dalam IMBT ini klausul akad dapat diformulasikan
sebagai berikut, “Jika penyewa (pihak kedua) telah menyelesaikan pembayaran
angsuran terakhir sewa aset tersebut di masa depan, maka pihak pertama
(muajjir) akan menjual aset tersebut kepada pihak kedua (penyewa) seharga
sekian”. Keduanya sepakat jumlah tentang cicilan sewa, masa penyewaan dan
harga jual barang di akhir sewa.
d. Jual beli ini bersifat mu’allaq (tergantung) terhadap
masa mustaqbal (akan datang). Hukumnya boleh menurut ketentuan fikih
Islam, sebagaimana dibolehkan Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim.
e. Pada jual beli “muallaq bi al-zaman almustaqbal”
ini tidak terdapat gharar sebagaimana yang disangkakan sebagian orang.
Ø Contoh Praktek
Ijarah IMBT pada Perbankan Syariah:
"Ismanu adalah seorang pengusaha yang bergerak
dibidang industri pariwisata di pekan baru. menjelang lebaran, ismanu ingin
menambah armada angkutan Bus Pariwisata sebanyak 8 unit. Untuk itu, ismanu
mengajukan permohonan kepada bank syariah untuk membiayai pembelian atas 8 unit
Bus Pariwisata tersebut dengan menggunakan akad Ijarah IMBT. Harga mobil
tersebut sebesar Rp-1oo juta/unit. Jangka waktu sewa selama 2 tahun, Pembayaran
sewa bulanan atas mobil tersebut sebesar Rp-35 juta/bulan. Total yang harus
dibayar ismanu dalam 2 tahun sebesar Rp-840 juta. bank syariah mengambil
keuntungan sebesar Rp-40 juta. Pada waktu sewa berakhir Bus Pariwisata tersebut
menjadi milik Ismani".
Ø Contoh Ijarah:
"Pak Budi sedang melakukan proyek pembangunan
jalan raya, membutuhkan alat-alat berat sebagai penunjang operasinya Sebesar
Rp-400 juta. lalu Pak Budi memohon kepada bank syariah untuk menyewa alat-alat
berat itu. Setelah dievakuasi permohonan pak Budi disetujui oleh Bank syariah,
dan bank syariah akan menyewa alat-alat berat tersebut yang dibutuhkan oleh pak
budi, kemudian baru dikirim ke nasabah. maka pak budi akan membayar sewa
alat-alat berat tersebut kepada bank syariah selama 2 tahun. Biaya sewa
perbulannya sebesar Rp-12 juta. Total yang harus dibayar pak budi selama 3
tahun ialah sebesar Rp-432 juta. Bank syariah mengambil keuntungan sebesar
Rp-32 juta".
H. HIKMAH
IJARAH
Hikmah
disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena
dibutuhkan dalam kehiduan manusia. Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya
adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir
karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah
diadakannya ijarah antara lain :
1.
Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan
adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir.
Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari
orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan
sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak
lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.
Dengan
transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama
dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih
tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat
memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.
Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu
kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang
meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang
diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban
itu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.
3.
Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya
transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi
hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek
tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar
sesama.
4.
Menolak kemungkaran
Diantara tujuan
ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar
akan dilakukan oleh yang menganggur. Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk
memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijarah secara sederhana diartikan dengan “transaksi
manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu”. Bila yang menjadi objek transaksi
adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarat al-‘ain atau sewa
menyewa ; seperti menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek
transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarat
al-zimmah atau upah mengubah menjahit pakaian. Keduanya disebut al-Ijarah
dalam literatul arab.
Hukum
asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Islam.
B. Kritik
dan Saran
Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber –
sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk
saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk
menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain
akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.
DAFTAR
PUSATAKA
Muslich, Ahmad
Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah. Syarifuddin, Amir. 2003.
Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Prenada Media. Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh
Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sahrani, Sohari., Ru’fah Abdullah. 2011. FIKIH MUAMALAH. Bogor: agahalia Indonesia. PasaribuChairuman., Suhrawardi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Sahrani, Sohari., Ru’fah Abdullah. 2011. FIKIH MUAMALAH. Bogor: agahalia Indonesia. PasaribuChairuman., Suhrawardi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Harun, Nasrun , Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007.
Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Bogor : PrenadaMedia,
2003.
Rozalinda, Fiqh Mu’amalah Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syari’ah, Padang: Haifa Press, 2005.
Karim, Helmi, Fiqh Mu’amalah, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2009.
Syafe’i Rachmat, Fiqih Mu’amalah,Bandung : CV. Pustaka Setia, 2001.
Asy-Syarbini, Muhammad, Mughni Al-Muhtaj, Juz II.
al-Jaziri, Abd. Ar-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah,
juz III.
Huda, Qamarul, Fiqih Mu’malah, Yogyakarta: Teras, 2011.
Abi ‘Abdillah, Syekh Syamsuddin, Fathul Qarib; fi syarhi alfadzi
at-taqrib, alih bahasa oleh Mistha Bin Jamid, Surabaya: Al-Hidayah.
·
Ascarya. 2007. Akad & Produk Bank
Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
·
Fatwa DSN MUI tentang
pembiayaan Ijaroh NO: 09/DSN-MUI/IV/2000.
·
Syafe’i, Rahmat. 2004.
Fiqih Muamalah. Bandung: Pusaka Setia.
Komentar